Rabu, 03 Februari 2010

10 years already


Ten to love,
love that should be tested
Ten to share:
dreams, hopes and plans
Ten to fight:
differences, views and values
Ten to accept:
cares, flaws and strengths
Ten to give:
all and none left …

Above all….
Love has bind us with the trust that God with us
Together to see, feel and pray,
that the love has been multiplied,
through two of new souls He gave,
completed our vows to live together,
until the end….

Thanks God for our tenth anniversary….

Senin, 21 Desember 2009

Merayakan Natal dan Tahun Baru



Saya setuju dengan beberapa gelintir orang yang mulai kembali pada esensi daripada selebrasi yang mengarah pada perusakan lingkungan dan menajamnya budaya konsumerisme serta perpecahan bangsa dalam merayakan Natal dan Tahun Baru kali ini. Paling tidak ada beberapa hal yang sejauh ini tercatat di kepala saya:
1. Tulisan di Kompas hari Minggu tanggal 19 Desember kemarin. Penulis yang ahli agama Islam, katam belajar agama di Al-Azhar Mesir, mengingatkan saudara-saudaranya sesama muslim untuk kembali pada upaya merukunkan kehidupan beragama di tanah air dengan menghimbau untuk kembali mengucapkan selamat Natal kepada saudara-saudara kristiani. Bagi sebagian kalangan kristiani, seperti saya, sebenarnya tidak terlalu masalah dengan tidak adanya ucapan itu dari teman-teman muslim. Sudah biasa, walaupun saya yang pernah mengalami (sampai tahun 1991) betapa ucapan itu berarti banyak bagi saya, merasa kehilangan. Ucapan itu seolah berbunyi: Hai teman, aku menerimamu untuk menjadi bagian dari keluarga besar ini; aku mendukungmu untuk menjadi orang yang lebih baik dengan caramu; atau terima kasih telah mendukungku juga selama ini. Bagus bukan? Nah, ketika menyadari bahwa tindakan itu telah “dilarang”, maka pesan yang sampai kepada saya adalah sebaliknya: maaf, kamu bukan bagian kami… Sedih bukan? Sebagai orang yang hidup, besar dan percaya kebaikan pluralisme gamblang itu, saya beruntung masih bisa mendapatkan ucapan itu, paling tidak dari keluarga dan teman-teman yang mungkin harus berperang nurani untuk mengucapkannya. Syukurlah.. Tetapi bagaimana dengan generasi sekarang yang (pasti) bertanya-tanya dan tidak tahu kemana harus mendapatkan jawabannya karena kesensitifannya. Kalau mereka bertanya pada orang tua mereka yang (mungkin) apatis dengan hal ini, kira-kira pemahaman apa yang mereka terima? Maka benarlah kata penulis itu, perpecahan bangsa secara diam-diam sudah dimulai… Siapa yang bakal diuntungkan? Entahlah….
2. Seorang figur publik bertekat mengurangi jumlah kado yang akan dibagikan kepada keponakan-keponakannya. Alasannya, kado-kado itu telah mengalihkan perhatian mereka terhadap esensi Natal yang sebenarnya: kesederhanaan dan kasih. Saya pikir ini upaya bagus. Sudah saatnya, atau bahkan teman-teman dari agama lain, sudah memulai paradigma ini. Pemikiran itu harus diatur, supaya sekali lagi, anak-anak kita itu memaknai Natal bukan dari apa yang akan mereka terima, belanja-belanja, makan-makan, dan pemborosan lainnya. Buat saya, memberi kado pada anak-anak panti asuhan (kristiani) itu sudah tidak perlu. Tanpa kita beri pun, mereka sebenarnya sudah dapat buaaannyak! Justru dengan memberi itu kita malah mengarahkan mereka pada konsumerisme itu sendiri. Kenapa tidak kita balik? Kita ajak mereka memberi kepada teman-teman panti asuhan dari agama lain. Atau kita yang memberi sesuatu kepada orang lain, tanpa memberitahu mereka bahwa kita sedang merayakan Natal dengan cara itu. Ndak usah dipakai lah atribut keagamaan kita pada saat berbuat baik karena ada yang bilang jika kita berbuat baik kepada orang yang kita tahu (pasti) bahwa mereka tidak akan bisa membalasnya, maka kita hanya berurusan dengan Tuhan saja. Seperti halnya belanja-belanja yang membuat kita ketagihan, berbuat baik juga bisa buat kita ketagihan… Coba aja!
3. Ada gerakan perempuan di Spanyol yang mereka tidak akan melayani suami-suami mereka jika pada perayaan tahun baru mereka menyalakan kembang api! Pemborosan dan membahayakan! Kalau ini sih no comment lah, tapi paling tidak ada upaya untuk merayakan sesuatu tanpa merusak lingkungan… Dalam hal ini saya setuju dengan pemenang Miss Earth Indonesia 2009: say no to Styrofoam!
Selamat merayakan Natal dan Tahun Baru dengan bijak!

Minggu, 29 November 2009

Ketidaksempurnaan dalam kesempurnaan….



Menjadi seorang ibu, bagiku, adalah pilihan hidup. Sama halnya ketika hendak memutuskan untuk menikah. Tetapi menjadi ibu dari seorang putra yang berkebutuhan khusus, sama sekali bukan pilihanku. It’s a gift.

Perlu suatu energi positif yang sangat besar untuk melihat gift itu sesuai artinya: hadiah, anugerah. Karena kenyataan cenderung selalu membawaku untuk selalu berada pada energi negatif yang, kalau boleh, menolak anugerah itu.

Energi negatif yang kumaksud itu adalah: a) perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri karena seolah Tuhan yang biasanya baik itu, sedang menghukumku atas kesalahan masa laluku. b) perasaan yang seolah mengatakan “Rasakannn!!!!” mungkin dari orang-orang yang mungkin masih mempermasalahkan kesalahan-kesalahan di jaman dahulu. c) perasaan tidak mampu, tidak tahu apa yang harus dilakukan, untuk memenuhi kebutuhan putraku. d)pertanyaan: mengapa harus ada orang yang sangat jauh dari sempurna di dunia ini sehingga ia harus bergantung sepenuhnya kepada orang lain?

Perlu waktu yang sangat lama untuk sekedar menetralisir (bukan memenangkan) perasaan bersalah itu. Dalam hal itu saja, energi positif yang dipompa dan dikembangkan sudah sangat besar. Seseorang pernah menenangkanku dengan mengatakan, “Stop merasa bersalah, karena ini sama sekali bukan kesalahanmu!” Baru kemudian aku berani untuk melangkah lebih jauh guna berdamai dengan diriku sendiri.

Perlu waktu yang lama untuk kemudian berhenti mencari penyebab putraku memiliki kebutuhan khusus itu. Suatu saat, aku dan suamiku tiba pada satu pencerahan, dengan proses yang berbeda, bahwa tidak penting lagi untuk mempermasalahkan masa lalunya. Sehingga kami pun bersepakat untuk menyatukan upaya kami pada urusan masa depannya.

Lalu muncullah pemikiran-pemikiran positif dalam tingkat yang sekarang: a)bagaimana pun kehadiran seseorang di dunia ini bukan tanpa alasan. Tuhan tidak pernah menghadirkan seseorang ke dunia tanpa tujuan yang tentu baik. b)nama tengah putraku yang artinya Tuhan beserta kita, dengan harapan besar bahwa ketidaksempurnaannya akan selalu membuat orang lain bersyukur atas keadaannya. C)Kehadiran dan keluarbiasaannya menyadarkanku bahwa kesempurnaan tanpa ketidaksempurnaan adalah tidak sempurna. Karena tidak ada kesempurnaan absolute, maka setiap orang berhak menentukan titik kesempurnaannya masing-masing, tetapi tidak untuk dikejar hingga berdarah-darah. Anggap saja itu bagian dari kesempurnaan itu sendiri.

Jumat, 07 Agustus 2009

Refleksi-workshop "Authentic Integration"

Walaupun tidak terdaftar dan tidak terlibat dari awal workshop, saya mencoba merefleksikan apa yang saya pelajari dari yang saya lihat, rasa dan dengar. Berharap akan ada banyak yang berbagi pelajaran apa yang didapat dari workshop tersebut.

1. Pembicara.

Jelas terasa bahwa bu Frida Dwiyanti membawakan workshop ini dengan cara yang menyenangkan buat saya. Bukan hanya sekedar menikmati kemedokan bahasa Inggris Surabaya yang begitu kental, tapi buat saya, PYP jadi lebih terasa ndeso, dalam arti yang positif. PYP yang terasa terlalu kebarat-baratan, agak di awang-awang, kurang bersahabat-terutama bagi teman-teman spesialis, kaku dan penuh aturan, menjadi lebih “touchable”, menjadi lebih Indonesia. Betapa menyenangkan mendengar orang “ndeso” ngomong hal-hal yang penting, tanpa orang mempermasalahkan ke-ndesoannya itu. Sepertinya PYP itu bisa dilakukan oleh siapa saja dan sesuai dengan saya yang memang ndeso ini. Tapi lihatlah, bagaimana beliau menjawab, menyampaikan pandangannya dengan cerdas tanpa menyakiti siapa-siapa, walaupun kadang agak pedas. Bagaimana beliau dengan cermat dan tepat, sesuai dengan buku besar “making PYP happy”, (eh… Making PYP happen, maksudnya), membuat saya berpikir, PYP rasanya kok tidak serumit yang saya rasakan sebelumnya. Semangat, kesenangannya menjawab pertanyaan-pertanyaan, ketulusan untuk membantu agar orang lain lebih mengerti, buat saya terasa sekali. Beliau bisa menghilangkan “boundary” antara orang yang belum tahu dengan beliau yang tahu banyak, tanpa sok tahu. Pribadi yang menyenangkan, buat saya. Memberikan inspirasi: orang ndeso juga bisa ya!

2. Tortoise vs Hare.

Cerita klasik, yang hampir semua orang bisa menebak intinya, sehingga kurang bermakna lagi, bisa dikembangkan menjadi cerita yang sangat relevance, significant dan engaging, karena sudah ada sentuhan novelty, sehingga tidak lagi menjadi cerita klasik yang kurang up to date.

Ada beberapa hal yang saya pelajari dan menjadi bahan renungan dari cerita itu:

a. Resilience: kemampuan untuk bangkit dari kegagalan. Sesuatu yang jarang kita perhitungkan, karena kita terbiasa menyiapkan diri untuk menang daripada kalah, untuk berhasil daripada gagal. Menyikapi kekalahan atau kegagalan dengan bijak. Anak-anak kita juga sangat perlu belajar ini, karena kompetisi sering sangat menyakitkan bagi yang terkalahkan.

b. Menghindari untuk merendahkan orang lain dari yang kita lihat dan dengar. Ada hubungannya dengan video Susan Doyle: seorang yang diremehkan pada awalnya sebelum ia diakui kehebatannya.

c. “Compete with situation instead of compete to each other”. Ini menjadi inti dari collaborative itu sendiri. Bersaing saja dengan situasi, bukan dengan rekan sekerja. Anggap saja masalah sebagai tantangan untuk membuktikan siapa yang menang, kita sebagai tim atau kita tidak bisa memecahkan masalah itu, sehingga masalah itu yang membuat kita tidak berhasil mencapai tujuan. Buat saya, ini paradigma baru. Dan biasanya perlu waktu untuk membuat perubahan paradigm (paradigm shift) terjadi hingga mampu mengganti paradigma lama. Maka bagi saya, hal ini perlu terus menerus diletakkan di pikiran kita, disuarakan di kepala, sampai otak berpikir cara-cara untuk mempertahankan paradigm itu menjadi sebuah sikap yang baru. Hmmmm….

3. Content.

Ini menjadi hal terakhir yang saya bahas, karena menurut saya, ini tidak terlalu penting. Hanya saja, saya merasa perlu untuk juga belajar dari yang dipelajari teman-teman dari perspective yang berbeda. Maka saya mulai dengan menjelaskan apa yang saya pelajari menurut point of view saya.

- authentic integration dengan jelas dikatakan akan terjadi jika supporting subjects atau learning activities dari process membantu anak untuk having further understanding terhadap central idea atau enduring understanding. Yang dimaksud supporting subject ya tentu subject di luar subject focus (content) dan yang dimaksud process adalah skills apa yang harus dimiliki siswa (melalui supporting subjects) untuk membantu anak memiliki pengertian yang lebih baik terhadap central idea. Rasanya ini bisa dijadikan pertanyaan refleksi tiap kali kita akan menentukan bahwa subject tertentu akan integrated atau supporting atau stand alone.

- walaupun masih ada perbedaan cara pandang tentang separate planner atau one planner untuk subjects yang mempunyai concepts yang sama, rasanya itu tidak lagi terlalu penting buat saya. Tetapi ada pengertian baru (semoga saya tidak salah), bahwa jika subject lain mempunyai dan membahas konsep yang sama, maka itu bisa dianggap integrated (conceptual integrated).

- conceptual integrated tidak juga selalu dipaksakan bahwa subject lain akan membahas hal yang sama, karena nantinya malah akan menjadi tematik. Dengan jelas dikatakan, yang diintegrasikan adalah konsepnya, bukan kontennya. Dicontohkan, ketika “change” menjadi salah satu konsep yang dikembangkan di UOI, di art pun bisa dibahas bagaimana change terjadi pada saat gambar visual bisa dirubah menjadi bentuk art yang lain. Di Math bisa dicontohkan bagaimana fraction berubah menjadi decimal misalnya. Jadi memang yang kita lakukan selama ini,menurut saya, perlu diluruskan. (Sangat mungkin pengertian saya salah, oleh karena itu saya perlu masukan).

- ternyata sangat dimungkinkan bagi para spesialis untuk membuat satu planner untuk grade/level yang berbeda. Dengan syarat, dilakukan pemetaan kurikulum dulu yang disesuaikan dengan scope and sequence dan KTSP nasional, untuk kemudian dikomunikasikan dengan guru kelas. Saya rasa ini hal baru yang menyenangkan semua pihak (semoga…)

- ternyata ada banyak pertimbangan yang mesti dilakukan pada saat membuat kurikulum. Selain scope and sequence, strand, concept, related concept, satu lagi adalah KTSP nasional. Selama ini ada kesan mengabaikan KTSP, padahal ternyata kalau dilihat, banyak yang sesuai dengan yang kita pelajari. Ini perlu untuk memastikan bahwa siswa kita juga bisa memenuhi standar nasional.