Kamis, 26 Februari 2009

Mulutmu Harimaumu

Seorang muridku yang bernama Danu (bukan nama sebenarnya) hari ini tidak masuk. Menurut pesan yang ditulis ibunya di agenda yang dikirimkan kepadaku, ia tidak berani masuk ke sekolah karena kejadian sehari sebelumnya. Pada saat kejadian yang dimaksud aku tidak berada di kelas, sehingga aku memutuskan untuk mencari tahu melalui teman-temannya.

Menurut informasi yang berhasil kukumpulkan, Danu merasa sedih sekali karena beberapa temannya menuduhnya telah mencuri barang teman yang lain. Ia merasa terhakimi dan tidak berdaya karena ia merasa tidak melakukannya. Dan yang lebih membuatnya sedih adalah beberapa temannya menantangnya untuk membuktikan omongannya bahwa ia tidak mencuri penghapus, karena penghapus yang ada di kotak pensilnya adalah penghapus yang baru dimasukkan pagi harinya oleh ibunya. Ia ditantang untuk membawa serta ibunya ke sekolah jika memang ia tidak melakukannya.

Menurut si Ayah yang juga meneleponku, si Ibu tidak bisa datang, mungkin tidak mau melayani tantangannya. Sehingga mogoklah Danu dan menangis sejadi-jadinya.

Muridku adalah anak-anak usia delapan sampai sembilan tahun, kelas tiga. Kejadian ini adalah kejadian kedua setelah pada acara market day di sekolah, ada seorang anak yang melaporkan bahwa dompetnya telah hilang, Tak lama kemudian seorang anak yang lain melaporkan bahwa ia menemukan dompet itu di dalam tasnya. Gossip pun berkembang. Beberapa temannya, salah satunya Danu, mengatakan padaku bahwa si A telah mencuri dompet si B. Aku terkejut dengan pernyataanya dan aku menanyakannya kenapa ia bilang seperti itu. Dari keterangannya, ia hanya menduga-duga.

Karena ini kuanggap penting, maka aku adakan diskusi kelas untuk membahas peristiwa tersebut. Pesannya: hati-hati dengan apa yang diucapkan, karena itu belum tentu benar. Aku juga mengatakan, jika sampai orang tuamu mendengar, pasti mereka akan marah.

Ternyata kejadian! Aku berharap murid-muridku belajar dari peristiwa ini. Tidak hanya si Danu, yang aku rasa kena banget, tetapi semua muridku untuk berhati-hati dengan kata-kata.

Mulutmu …. Harimaumu! Hhrrrrr!

Selasa, 17 Februari 2009

Valentine's Day


Koran Kompas Sabtu, memuat sebuah foto tentang seorang guru yang sedang mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Gambar itu ingin menjelaskan walaupun mereka tidak merayakan Hari Kasih Sayang dengan kasat mata, artinya dengan bertukar kado, kirim bunga, atau coklat, sangat nyata gambar itu telah menunjukkan kasih sayang yang sebenarnya.
Kasih sayang yang kadang gak perlu diungkapkan dengan cara-cara yang tidak biasa dan membuat kikuk, nyata diperlihatkan dengan melakukan kegiatan yang sudah dipilih sebagai bagian hidup untuk menyayangi anak-anak yang karena kebutuhannya sering tidak mendapat kasih sayang yang semestinya. Ya, kasih sayang harusnya ada di mana-mana, kapan saja dan oleh siapa saja.
Aku tidak skeptic atau apatis dengan Valentine’s Day. Mungkin karena aku sudah melewati masa-masa kehebohan itua, sehingga tidak merasa sebagai suatu kebutuhan untuk merayakannya secara khusus. Apalagi dengan cara-cara yang tidak membuat nyaman, jadi mengurangi arti pentingnya. Bukan juga ingin melemahkan mereka yang memutuskan untuk merayakannya, kalau itu membuat mereka menjadi lebih baik, suatu anugerah tersendiri kan?
Tapi aku sangat tidak suka dengan usaha-usaha yang mencegah orang lain untuk merayakan hari baik itu karena alasan-alasan yang menurutku tidak cerdas. Kalau ada yang memaksa, apalagi dengan demo, agar orang tidak mereyakannya karena itu dianggap sebagai keberpihakan pada satu agama tertentu, itu melanggar hak asasi manusia.
Hari Kasih Sayang itu kan kalau disikapi dengan baik, pasti ada makna positifnya, entah darimana asalnya. Pepatah bilang, mutiara yang keluar dari mulut anjing sekalipun tetaplah mutiara bukan? Idenya kan baik, sejarahnya pun mengandung nilai-nilai universal yang baik, lalu kenapa dijadikan alasan untuk menjadikannya tidak baik? Berarti niatnya yang tidak baik kan? Sesuatu yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik pula, akan memberi akibat yang baik pula. Seperti pedang bermata dua, baik bagi yang melakukannya,baik pula bagi yang menerimanya. Darimana kita tahu bahwa yang kita lakukan itu baik? Adalah ketika kita melakukannya, kita menjadi lebih bahagia, menjadi lebih tulus,menjadi lebih baik. Itu saja.

Anak dan Sepeda Motor: Ungkapan Keprihatinan




Seorang anak perempuan kecil berkerudung menatapku tak berkedip di sebuah angkot. Aku serba salah, mungkin ada yang salah denganku. Aku coba tersenyum, namun ia tetap menatapku, tak berkedip. Bahkan ekspresinya pun tak berubah. Adakah yang salah denganku?

Aku mencoba membuang pandanganku ke arah lain, aku merasa tidak enak terus-terusan dipelototi seperti itu. Ketika aku kembali melihat anak perempuan yang duduk dengan seorang wanita, yang kuduga ibunya, aku jadi mengerti. Anak itu kini terkantuk-kantuk dan tertidur diantara ketiak ibunya. Jadi pandangan yang kutangkap tadi itu adalah pandangan anak mengantuk dan setengah sadar. Aku tertawa sendiri. Masih untung si anak tertidur di angkot. Kalau di sepeda motor?

Dengan adanya kekisruhan ekonomi dunia, harga minyak yang turun naik, dan harga kebutuhan yang naik terus, orang mencari cara untuk berhemat. Keadaan ini pula yang akhirnya dimanfaatkan oleh perusahaan pembuat motor untuk menaikkan penjualan. Dengan kemampuan beli masyarakat yang rendah, mereka menawarkan pembelian motor dengan kredit yang sangat mudah dan ringan. Jadilah kini orang banyak yang memakai motor daripada angkot. Ya,ditambah lagi dengan system transportasi kita yang tidak ramah orang.

Tapi memang orang Indonesia itu terkenal sangat berani. Saking beraninya sampai-sampai gak bisa bedain gagah berani dengan gagah nekat! Dengan model motor terbaru, yang lebih kecil dan power lebih rendah, berani-beraninya membawa beban yang lebih banyak. Anak-anak dan istri yang berbadan lebar dipaksa muat dalam satu motor yang Cuma nyaman bila dikendarai berdua. Anak ditaruh di depan menantang angin tanpa perlengkapan keamanan. Anak yang lain dijepitkan diantara badan ayah dan ibu yang kerepotan membawa barang yang lain. Sedangkan si ayah sering keasyikan ngepot memacu kendaraan seorah ia sedang seorang diri saja.

Coba saja lihat di jalan kalau sedang akhir minggu atau liburan. Kenekatan itu makin kentara sampai membuat yang melihat geleng-geleng kepala. Sekali lagi, anak-anak tidak mendapatkan haknya untuk memperoleh perlindungan dari bahaya . Jika kecelakaan terjadi, mereka rentan sekali terkena bahaya. Kalaupun lagi untung, mereka terpapar trauma yang panjang karena menjadi saksi kerbunuhnnya anggota keluarganya di jalanan.

Semua keputusan selalu ada resikonya. Keputusan yang tidak bijak hanya dengan alasan tidak punya cukup uang untuk jalan-jalan bersama keluarga menggunakan kendaraan umum, aku rasa terlalu besar resikonya. Kalaupun harus terpaksa, ya sebaiknya anak-anak mendapatkan perlindungan keamanan yang layak.

Aku dan suamiku pun sudah sepakat untuk tidak menggunakan sepeda motor untuk pergi bersama-sama dengan anak-anakku. Terlau besar resikonya. Lebih baik kita sewa angkot, atau sewa motor lain, atau ya nggak pergi ke mana-mana. Aman kan? Memang ada banyak pilihan, tetapi hendaknya pilihan orang tua mengutamakan keselamatan si anak.

Dukun Ponari




Dalam harian Kompas hari Sabtu kemarin (14 Februari 2009) ada artikel tentang dukun cilik Ponari. Asyik untuk disimak sekaligus prihatin. Puluhan ribu orang berbondong-bondong datang ke tempat dukun cilik yang terpencil, memenuhi jalan desan yang tentu saja tidak muat menampung hilir mudik kendaraan yang terlalu banyak. Lalu tiba-tiba kampung sepi itu mendadak menjadi arena pasar malam, tenda-tenda seadanya digelar bersamaan dengan dagangan yang juga seadanya untuk memanfaatkan kesempatan dari kejadian tersebut.

Jombang lagi Jombang lagi. Setelah di televisi terlihat orang berbondong-bondong mengunjungi pemakaman masal korban Rian, kini muncul gerombolan orang memenuhi perkampungan Ponari. Apa yang salah dengan semuanya ini?

Aku melihat, sebagaimana yang telah dibahas KOmpas, ada yang tidak biasa dalam fenomena ini (atau memang hal yang lumrah?). Masyarakat begitu antusias dengan pengobatan instan yang cepat dan murah plus sugesti-sugesti. Menurutku menjadi tidak murah juga kalau dibandingkan dengan usaha yang terlampau dipaksakan untuk mendapat kesembuhan jika dibandingkan dengan pengobatan biasa. Menjadi murah karena mereka berasumsi bahwa dengan sekali datang, ada kesembuhan. Ya kalau dilihat seperti itu siapa yang tidak mau?

Tapi bagaimana dengan korban jiwa yang sudah jatuh? Tanggung jawab siapa? Menurutku ya tanggung jawab dan kenseskuensi dari sebuah pilihan yang,menurutku kurang logis. Tapi kini memang orang menjadi tidak bersikap logis karena pengaruh ekonomi. Orang tidak bersikap logis jika hal itu dihubungkan dengan adat, kepercayaan atau sugesti itu tadi. Lalu bagaimana dengan Ponari sendiri?

Ponari adalah siswa SD kelas IIIsebuah sekolah ndeso. Karena kehebatannya itu, membuat dia kehilangan waktu belajarnya,waktu bermainnya dan tidak bisa tumbuh dalam keadaaan yang normal sebagaimana anak-anak pada umumnya. Ia harus diungsikan dan terpakasa tidak bisa bertemu orang karena takut orang lain akan datang berduyun-duyun mencarinya. Secara pisikis pasti ia sudah terganggu. Kalau kita bicara hak anak, banyak dari hak-haknya sebagai anak tidak bisa terpenuhi. Lalu bagaimana Ponari akan mendapatkan haknya kembali?

Menurutku pemerintah harus sudah ambil tindakan untuk melindungi Ponari. Ia harus diobservasi kesehatan fisik dan psikisnya, diberikan terapi untuk mengurangi trauma, dan diberi pendampingan untuk memulihkan ke”anak-anakannya”. Siapa yang seharusnya membantu? KPAI (Komisi Perlindingan ANak Indonesia) sebagai lembaga pemerintah yang bertugas melindungi anak Indonesia seharusnya sudah harus turun tangan. Ya kalau tidak bisa, paling kita minta Kak Seto yang membrikan pendampingan.

Oh, Ponari. Ternyata kehebatan tidak senantiasa membuat kita bahagia.