Selasa, 17 Februari 2009

Dukun Ponari




Dalam harian Kompas hari Sabtu kemarin (14 Februari 2009) ada artikel tentang dukun cilik Ponari. Asyik untuk disimak sekaligus prihatin. Puluhan ribu orang berbondong-bondong datang ke tempat dukun cilik yang terpencil, memenuhi jalan desan yang tentu saja tidak muat menampung hilir mudik kendaraan yang terlalu banyak. Lalu tiba-tiba kampung sepi itu mendadak menjadi arena pasar malam, tenda-tenda seadanya digelar bersamaan dengan dagangan yang juga seadanya untuk memanfaatkan kesempatan dari kejadian tersebut.

Jombang lagi Jombang lagi. Setelah di televisi terlihat orang berbondong-bondong mengunjungi pemakaman masal korban Rian, kini muncul gerombolan orang memenuhi perkampungan Ponari. Apa yang salah dengan semuanya ini?

Aku melihat, sebagaimana yang telah dibahas KOmpas, ada yang tidak biasa dalam fenomena ini (atau memang hal yang lumrah?). Masyarakat begitu antusias dengan pengobatan instan yang cepat dan murah plus sugesti-sugesti. Menurutku menjadi tidak murah juga kalau dibandingkan dengan usaha yang terlampau dipaksakan untuk mendapat kesembuhan jika dibandingkan dengan pengobatan biasa. Menjadi murah karena mereka berasumsi bahwa dengan sekali datang, ada kesembuhan. Ya kalau dilihat seperti itu siapa yang tidak mau?

Tapi bagaimana dengan korban jiwa yang sudah jatuh? Tanggung jawab siapa? Menurutku ya tanggung jawab dan kenseskuensi dari sebuah pilihan yang,menurutku kurang logis. Tapi kini memang orang menjadi tidak bersikap logis karena pengaruh ekonomi. Orang tidak bersikap logis jika hal itu dihubungkan dengan adat, kepercayaan atau sugesti itu tadi. Lalu bagaimana dengan Ponari sendiri?

Ponari adalah siswa SD kelas IIIsebuah sekolah ndeso. Karena kehebatannya itu, membuat dia kehilangan waktu belajarnya,waktu bermainnya dan tidak bisa tumbuh dalam keadaaan yang normal sebagaimana anak-anak pada umumnya. Ia harus diungsikan dan terpakasa tidak bisa bertemu orang karena takut orang lain akan datang berduyun-duyun mencarinya. Secara pisikis pasti ia sudah terganggu. Kalau kita bicara hak anak, banyak dari hak-haknya sebagai anak tidak bisa terpenuhi. Lalu bagaimana Ponari akan mendapatkan haknya kembali?

Menurutku pemerintah harus sudah ambil tindakan untuk melindungi Ponari. Ia harus diobservasi kesehatan fisik dan psikisnya, diberikan terapi untuk mengurangi trauma, dan diberi pendampingan untuk memulihkan ke”anak-anakannya”. Siapa yang seharusnya membantu? KPAI (Komisi Perlindingan ANak Indonesia) sebagai lembaga pemerintah yang bertugas melindungi anak Indonesia seharusnya sudah harus turun tangan. Ya kalau tidak bisa, paling kita minta Kak Seto yang membrikan pendampingan.

Oh, Ponari. Ternyata kehebatan tidak senantiasa membuat kita bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar