Jumat, 07 Agustus 2009

Refleksi-workshop "Authentic Integration"

Walaupun tidak terdaftar dan tidak terlibat dari awal workshop, saya mencoba merefleksikan apa yang saya pelajari dari yang saya lihat, rasa dan dengar. Berharap akan ada banyak yang berbagi pelajaran apa yang didapat dari workshop tersebut.

1. Pembicara.

Jelas terasa bahwa bu Frida Dwiyanti membawakan workshop ini dengan cara yang menyenangkan buat saya. Bukan hanya sekedar menikmati kemedokan bahasa Inggris Surabaya yang begitu kental, tapi buat saya, PYP jadi lebih terasa ndeso, dalam arti yang positif. PYP yang terasa terlalu kebarat-baratan, agak di awang-awang, kurang bersahabat-terutama bagi teman-teman spesialis, kaku dan penuh aturan, menjadi lebih “touchable”, menjadi lebih Indonesia. Betapa menyenangkan mendengar orang “ndeso” ngomong hal-hal yang penting, tanpa orang mempermasalahkan ke-ndesoannya itu. Sepertinya PYP itu bisa dilakukan oleh siapa saja dan sesuai dengan saya yang memang ndeso ini. Tapi lihatlah, bagaimana beliau menjawab, menyampaikan pandangannya dengan cerdas tanpa menyakiti siapa-siapa, walaupun kadang agak pedas. Bagaimana beliau dengan cermat dan tepat, sesuai dengan buku besar “making PYP happy”, (eh… Making PYP happen, maksudnya), membuat saya berpikir, PYP rasanya kok tidak serumit yang saya rasakan sebelumnya. Semangat, kesenangannya menjawab pertanyaan-pertanyaan, ketulusan untuk membantu agar orang lain lebih mengerti, buat saya terasa sekali. Beliau bisa menghilangkan “boundary” antara orang yang belum tahu dengan beliau yang tahu banyak, tanpa sok tahu. Pribadi yang menyenangkan, buat saya. Memberikan inspirasi: orang ndeso juga bisa ya!

2. Tortoise vs Hare.

Cerita klasik, yang hampir semua orang bisa menebak intinya, sehingga kurang bermakna lagi, bisa dikembangkan menjadi cerita yang sangat relevance, significant dan engaging, karena sudah ada sentuhan novelty, sehingga tidak lagi menjadi cerita klasik yang kurang up to date.

Ada beberapa hal yang saya pelajari dan menjadi bahan renungan dari cerita itu:

a. Resilience: kemampuan untuk bangkit dari kegagalan. Sesuatu yang jarang kita perhitungkan, karena kita terbiasa menyiapkan diri untuk menang daripada kalah, untuk berhasil daripada gagal. Menyikapi kekalahan atau kegagalan dengan bijak. Anak-anak kita juga sangat perlu belajar ini, karena kompetisi sering sangat menyakitkan bagi yang terkalahkan.

b. Menghindari untuk merendahkan orang lain dari yang kita lihat dan dengar. Ada hubungannya dengan video Susan Doyle: seorang yang diremehkan pada awalnya sebelum ia diakui kehebatannya.

c. “Compete with situation instead of compete to each other”. Ini menjadi inti dari collaborative itu sendiri. Bersaing saja dengan situasi, bukan dengan rekan sekerja. Anggap saja masalah sebagai tantangan untuk membuktikan siapa yang menang, kita sebagai tim atau kita tidak bisa memecahkan masalah itu, sehingga masalah itu yang membuat kita tidak berhasil mencapai tujuan. Buat saya, ini paradigma baru. Dan biasanya perlu waktu untuk membuat perubahan paradigm (paradigm shift) terjadi hingga mampu mengganti paradigma lama. Maka bagi saya, hal ini perlu terus menerus diletakkan di pikiran kita, disuarakan di kepala, sampai otak berpikir cara-cara untuk mempertahankan paradigm itu menjadi sebuah sikap yang baru. Hmmmm….

3. Content.

Ini menjadi hal terakhir yang saya bahas, karena menurut saya, ini tidak terlalu penting. Hanya saja, saya merasa perlu untuk juga belajar dari yang dipelajari teman-teman dari perspective yang berbeda. Maka saya mulai dengan menjelaskan apa yang saya pelajari menurut point of view saya.

- authentic integration dengan jelas dikatakan akan terjadi jika supporting subjects atau learning activities dari process membantu anak untuk having further understanding terhadap central idea atau enduring understanding. Yang dimaksud supporting subject ya tentu subject di luar subject focus (content) dan yang dimaksud process adalah skills apa yang harus dimiliki siswa (melalui supporting subjects) untuk membantu anak memiliki pengertian yang lebih baik terhadap central idea. Rasanya ini bisa dijadikan pertanyaan refleksi tiap kali kita akan menentukan bahwa subject tertentu akan integrated atau supporting atau stand alone.

- walaupun masih ada perbedaan cara pandang tentang separate planner atau one planner untuk subjects yang mempunyai concepts yang sama, rasanya itu tidak lagi terlalu penting buat saya. Tetapi ada pengertian baru (semoga saya tidak salah), bahwa jika subject lain mempunyai dan membahas konsep yang sama, maka itu bisa dianggap integrated (conceptual integrated).

- conceptual integrated tidak juga selalu dipaksakan bahwa subject lain akan membahas hal yang sama, karena nantinya malah akan menjadi tematik. Dengan jelas dikatakan, yang diintegrasikan adalah konsepnya, bukan kontennya. Dicontohkan, ketika “change” menjadi salah satu konsep yang dikembangkan di UOI, di art pun bisa dibahas bagaimana change terjadi pada saat gambar visual bisa dirubah menjadi bentuk art yang lain. Di Math bisa dicontohkan bagaimana fraction berubah menjadi decimal misalnya. Jadi memang yang kita lakukan selama ini,menurut saya, perlu diluruskan. (Sangat mungkin pengertian saya salah, oleh karena itu saya perlu masukan).

- ternyata sangat dimungkinkan bagi para spesialis untuk membuat satu planner untuk grade/level yang berbeda. Dengan syarat, dilakukan pemetaan kurikulum dulu yang disesuaikan dengan scope and sequence dan KTSP nasional, untuk kemudian dikomunikasikan dengan guru kelas. Saya rasa ini hal baru yang menyenangkan semua pihak (semoga…)

- ternyata ada banyak pertimbangan yang mesti dilakukan pada saat membuat kurikulum. Selain scope and sequence, strand, concept, related concept, satu lagi adalah KTSP nasional. Selama ini ada kesan mengabaikan KTSP, padahal ternyata kalau dilihat, banyak yang sesuai dengan yang kita pelajari. Ini perlu untuk memastikan bahwa siswa kita juga bisa memenuhi standar nasional.