Minggu, 10 Mei 2009

Hardiknas=Hari Pendidikan Nasional?

Hardiknas: hari pendidikan nasional, apa artinya? Ada kegelisahan dan kekhawatiran besar yang selama ini saya simpan, sebagai pendidik dan orang tua. Dan sebuah tulisan “Hilangnya Sistem Pendidikan Nasional” di Kompas tanggal 2 Mei 2009, menggugah kembali kegelisahan itu. Berikut adalah kutipan tulisan tersebut yang telah menjadi kegelisahan saya selama ini:

“Faktor internal yang turut menghilangkan ciri nasional system pendidikan kita adalah kuatnya keinginan sebagian kelompok untuk membentuk system pendidikan yang lebih agamis dan itu (ternyata-red) terakomodasi dalam UUD 1945 hasil amandemen. Ayat 2 Pasal 31 UUD 1945 yang asli mengatakan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang”. Tetapi Ayat 3 Pasal 31 UUD 1945 diamandemen menyatakan,”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”.

Penulis juga mengatakan bahwa pada tingkat praksis, jelas terlihat bagaimana para siswi mengenakan seragam bagian bawah yang harus sampai menutup tumit, salam pembuka dan penutup di kelas, sampai pengaturan tempat duduk di ruang kelas. Ironisnya, praksis pendidikan semacam itu justru lebih kuat terjadi di sekolah-sekolah negeri yang seharusnya lebih universal.

Terus terang kegelisahan dan rasa penasaran saya terjawab ketika melihat kecenderungan sekolah-sekolah negeri saat ini lebih menjadi sekolah islam daripada sekolah umum. Ternyata amandemen itu sungguh mengarahkan pendidikan nasional kita pada arah yang tidak mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah jelas negeri ini dihuni oleh berbagai jenis agama dan suku yang berbeda, tetapi system pendidikan yang diharapkan menjadikan generasi bangsa menjadi lebih cerdas telah dibodohkan. Pasti ada yang salah di DPR.

Sebagai seorang pendidik, saya menyesal baru mengetahui isi amandemen itu yang kemudian diturunkan dan dipraktekkan dengan cara yang tidak mencerdaskan. Karena itu berimplikasi negatif terhadap kesiapan anak didik menjadi pribadi-pribadi yang legowo dan kaya dalam menerima dan menyikapi perbedaan. Seberapa besar implikasi itu berakibat pada cara pandang dan cara pikir anak-anak? Tentu hal itu kan mempengaruhi cara-cara dan bentuk pengambilan keputusan mereka nantinya.

Sebagai orang tua, saya khawatir tidak banyak sekolah murah (yang biasanya sekolah negeri) yang mengajarkan dan menunjukkan sikap bijak menerima dan menghadapi perbedaan. Saya khawatir bagaimana anak-anak sejak dini sudah dikondisikan pada situasi seragam, sekelompok, sepaham, sehingga tidak punya kesempatan dan berani menunjukkan pribadinya yang unik. Bukankah ini kemunduran besar? Seingat saya, dulu ketika sekolah SD sampai SMA di Jawa Timur, kami tidak pernah mempermasalahkan soal agama atau perbedaan-perbedaan dasar itu. Saya yang minoritas kala itu, tidak pernah merasa minor, karena bagi kami, agama adalah sesuatu yang ada di hati dan bersifat personal, yang tidak perlu dicirikan secara kasat mata lewat busana atau salam atau cara duduk kita di kelas.

Hari pendidikan nasional, seharusnya tetap bersifat nasional. Bisa diterapkan dan dilaksanakan di mana saja di penjuru Indonesia yang beragam ini tanpa mempermasalahkan perbedaan mendasar itu. Kalau dalam tataran undang-undang sudah sulit dirubah, maka yang sangat mungkin diubah adalah sumber daya manusia: pendidik (guru) dan orang tua.

Ada beberapa hal yang saya pikir bisa kita miliki dan inspirasikan sebagai pendidik dan orang tua yang sama-sama ingin mencerdaskan kehidupan bangsa:

1. Ketulusan. Ketulusan adalah sesuatu yang baik yang berasal dari hati yang sungguh menginginkan anak-anak kita menjadi lebih baik tanpa peduli mereka akan memilih cara yang sesuai dengan yang kita mau.

2. Kasih. Bahasa paling universal yang dirasa oleh semua orang di bumi ini. Mengasihi itu tidak memihak dan berpihak pada golongannya, tetapi pada apa yang dirasa dan dipikir benar agar anak-anak kita bisa menjadi lebih baik.

3. Integritas. Anak-anak lebih mengerti pada apa yang dilihatnya di luar rumah atau kelas ketika mereka tahu bahwa kita menjadi diri sendiri, bukan guru atau orang tua mereka. Ketidaksamaan dengan harapan mereka akan melukai perasaan mereka.

Semoga anak-anak kita menjadi anak-anak yang kuat dan cerdas!