Senin, 21 Desember 2009

Merayakan Natal dan Tahun Baru



Saya setuju dengan beberapa gelintir orang yang mulai kembali pada esensi daripada selebrasi yang mengarah pada perusakan lingkungan dan menajamnya budaya konsumerisme serta perpecahan bangsa dalam merayakan Natal dan Tahun Baru kali ini. Paling tidak ada beberapa hal yang sejauh ini tercatat di kepala saya:
1. Tulisan di Kompas hari Minggu tanggal 19 Desember kemarin. Penulis yang ahli agama Islam, katam belajar agama di Al-Azhar Mesir, mengingatkan saudara-saudaranya sesama muslim untuk kembali pada upaya merukunkan kehidupan beragama di tanah air dengan menghimbau untuk kembali mengucapkan selamat Natal kepada saudara-saudara kristiani. Bagi sebagian kalangan kristiani, seperti saya, sebenarnya tidak terlalu masalah dengan tidak adanya ucapan itu dari teman-teman muslim. Sudah biasa, walaupun saya yang pernah mengalami (sampai tahun 1991) betapa ucapan itu berarti banyak bagi saya, merasa kehilangan. Ucapan itu seolah berbunyi: Hai teman, aku menerimamu untuk menjadi bagian dari keluarga besar ini; aku mendukungmu untuk menjadi orang yang lebih baik dengan caramu; atau terima kasih telah mendukungku juga selama ini. Bagus bukan? Nah, ketika menyadari bahwa tindakan itu telah “dilarang”, maka pesan yang sampai kepada saya adalah sebaliknya: maaf, kamu bukan bagian kami… Sedih bukan? Sebagai orang yang hidup, besar dan percaya kebaikan pluralisme gamblang itu, saya beruntung masih bisa mendapatkan ucapan itu, paling tidak dari keluarga dan teman-teman yang mungkin harus berperang nurani untuk mengucapkannya. Syukurlah.. Tetapi bagaimana dengan generasi sekarang yang (pasti) bertanya-tanya dan tidak tahu kemana harus mendapatkan jawabannya karena kesensitifannya. Kalau mereka bertanya pada orang tua mereka yang (mungkin) apatis dengan hal ini, kira-kira pemahaman apa yang mereka terima? Maka benarlah kata penulis itu, perpecahan bangsa secara diam-diam sudah dimulai… Siapa yang bakal diuntungkan? Entahlah….
2. Seorang figur publik bertekat mengurangi jumlah kado yang akan dibagikan kepada keponakan-keponakannya. Alasannya, kado-kado itu telah mengalihkan perhatian mereka terhadap esensi Natal yang sebenarnya: kesederhanaan dan kasih. Saya pikir ini upaya bagus. Sudah saatnya, atau bahkan teman-teman dari agama lain, sudah memulai paradigma ini. Pemikiran itu harus diatur, supaya sekali lagi, anak-anak kita itu memaknai Natal bukan dari apa yang akan mereka terima, belanja-belanja, makan-makan, dan pemborosan lainnya. Buat saya, memberi kado pada anak-anak panti asuhan (kristiani) itu sudah tidak perlu. Tanpa kita beri pun, mereka sebenarnya sudah dapat buaaannyak! Justru dengan memberi itu kita malah mengarahkan mereka pada konsumerisme itu sendiri. Kenapa tidak kita balik? Kita ajak mereka memberi kepada teman-teman panti asuhan dari agama lain. Atau kita yang memberi sesuatu kepada orang lain, tanpa memberitahu mereka bahwa kita sedang merayakan Natal dengan cara itu. Ndak usah dipakai lah atribut keagamaan kita pada saat berbuat baik karena ada yang bilang jika kita berbuat baik kepada orang yang kita tahu (pasti) bahwa mereka tidak akan bisa membalasnya, maka kita hanya berurusan dengan Tuhan saja. Seperti halnya belanja-belanja yang membuat kita ketagihan, berbuat baik juga bisa buat kita ketagihan… Coba aja!
3. Ada gerakan perempuan di Spanyol yang mereka tidak akan melayani suami-suami mereka jika pada perayaan tahun baru mereka menyalakan kembang api! Pemborosan dan membahayakan! Kalau ini sih no comment lah, tapi paling tidak ada upaya untuk merayakan sesuatu tanpa merusak lingkungan… Dalam hal ini saya setuju dengan pemenang Miss Earth Indonesia 2009: say no to Styrofoam!
Selamat merayakan Natal dan Tahun Baru dengan bijak!